الثلاثاء، 19 فبراير 2013

makalah hadist tentang memilih guru


PERSPEKTIF HADIST TENTANG MEMILIH GURU
MUQODDIMAH
Guru adalah subjek  paling penting dalam keberlangsungan pendidikan. Tanpa guru, sulit dibayangkan bagaimana pendidikan dapat berjalan. Bahkan meskipun ada teori yang mengatakan bahwa keberadaan orang/manusia sebagai guru akan berpotensi menghambat perkembangan peserta didik, tetapi keberadaan orang sebagai guru tetap tidak mungkin dinafikan sama sekali dari proses pendidikan. Menurut konsep islam seorang yang dijadikan figur panutan/ulama’/guru adalah contoh yang patut untuk diteladani dalam hal pemahaman dibidang masing-masing. [1]
Realitasnya, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Secara umum, guru bisa siapa saja. Justru guru yang pertama kali dijumpai oleh setiap orang adalah orang-tuanya sendiri. Baru kemudian, guru  pada pendidikan formal. Di tengah masyarakat, pimpinan masyarakat juga dapat berfungsi sebagai pendidik untuk masyarakatnya. Dalam pengertian yang luas seperti ini, maka siapa saja yang melakukan pekerjaan berupa proses transfer pengetahuan dan internalisasi nilai kepada peserta didik, maka dapat disebut sebagai guru.
Secara institusional, guru memegang peranan yang cukup penting, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Dengan demikian, guru juga berperan melakukan evaluasi dan penyempurnaan kurikulum
Dalam kehidupan sosial yang lebih luas, yang berperan sebagai pendidik adalah terutama para ‘ulama dan ahl al-zikr. Namun dalam konteks pendidikan yang lebih luas, maka pada diri setiap orang sesungguhnya melekat kewajiban untuk mendidik. Hanya saja ulama dan ahl zikir secara khusus diberi amanah sebagai pendidik.
 Nabi Saw bersabda:
 العلماء ورثة الانبياء
Ulama adalah pewaris para Nabi.
Berdasarkan penekanan khusus kepada para ulama dan ahl al-zikr tersebut, maka tidak mengherankan jika para pakar pendidikan Islam menetapkan syarat-syarat yang cukup ketat sebagai kriteria yang seyogianya dimiliki oleh pendidik.
Kriteria dimaksud seperti istiqamah, sabar, berilmu, cerdas dan terampil, penyantun, dan berbagai sifat terpuji lainnya yang menunjukkan kemuliaan dan beratnya beban tugas seorang pendidik. 
Guru juga sebagai model panutan uswatun hasanah, yaitu Guru sebagaimana orang tua sudah seharusnya bisa menjadi panutan bagi anak-anak. Perilaku keseharian bisa menjadi tauladan bagi anak-anak didik. Guru bisa menjadi figur sentral dalam pembentukan kepribadian anak.
Saat ini banyak anak kehilangan figur sentral. Banyak anak yang lebih cenderung untuk menjadikan tontonan sebagai model. Bisa saja hal ini terjadi karena orang tua yang mestinya bisa sebagai model jarang ditemui karena sibuk. Sehingga anak-anak mencari figur lainnya. Misalnya saja model itu bisa ditemukan pada diri pembantu, pada tokoh sinetron yang dikagumi, atau mungkin sahabatnya yang dijadikan figur.
Di sinilah guru dituntut untuk menjadi model. Berikan yang terbaik buat anak-anak kita. Banyak anak-anak yang sukses karena melihat figur gurunya yang bersahaja, tegas, dan berwibawa.
Anak-anak adalah mata rantai pewaris perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran. Anak-anak adalah pengawal negeri tercinta. Dialah yang akan menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang telah dibangun dengan susah payah.
Dalam proses transfering values and knowladge guru senantiasa mengajar dan berkomunikasi. Guru tidak bisa meninggalkan nilai-nilai dalam mendidik putra-putrinya. Sekali lagi, sebagai agen perubahan, guru bukan hanya transfer knowledge, tetapi transfer nilai-nilai. Hal-hal yang tidak baik segera diganti dengan nilai-nilai yang baik.
Berbagai teori telah menyebutkan bahwa apa yang sudah diterima anak di masa tanam akan masuk dalam memori jangka panjang atau tersimpan pada alam bawah sadar. Namun demikian, kita tidak boleh berputus asa, tidak boleh hawatir untuk melakukan perubahan. Masa model bisa untuk memperbaiki kondisi yang pernah terjadi di masa tanam.
Di sinilah peran guru sebagai agen perubahan. Guru berperan sebagi model yang bisa diteladani oleh anak-anak. Banyak model yang dilihat oleh anak-anak di luar sekolah. Namun di sekolahlah yang diharapkan model itu bisa ditemukan oleh anak. Sekolah setidaknya mampu menjadi filter terhadap pengaruh yang terjadi di luar rumah
Selain itu, Guru juga sebagai tokoh dan anggota masyarakat, sama halnya dengan poin sebelumnya, dimana pada poin ini  seorang pendidik atau guru juga berperan sebagai tokoh masyarakat . Disini seorang guru dituntut untuk menjadi seorang panutan tidak hanya di lingkungan formal seperti sekolah tapi juga dalam arti yang lebih luas, dimana seorang pendidik harus memberikan sikap teladan yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain.
Dengan melihat begitu besarnya fungsi dan peran guru dalam kehidupan maka kita tidak bisa asal mengambil guru untuk dituntut ilmunya tetapi bagaimana kita mencari orang yang tepat untuk kita ikuti dan terima ilmunya, Sehingga kita tidak salah jalan nantinya.


















HADIST-HADIST TENTANG MEMILIH GURU

·         Hadist 1 :
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
Terjemah :”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab).
v  Butir-butir kandungan hadist  :
Dari perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita hekdaknya dalam mengambil ilmu dapat memilih dari siapa memperolehnya karena ilmu adalah “agama”  jadi kita harus  mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah.
·         Hadist 2
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه
Terjemah :”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu. (Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih).
·         Butir-butir kandungan hadist  :
1. Ilmu agama akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dan mereka meluruskan penyimpangan yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil.
2. Ilmu hanya pantas dan layak dimiliki oleh orang-orang yang memiliki sifat diatas. Oleh karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa ”seleksi”.
·         Hadist 3 :
يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا
Terjemah : ”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” (Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab).
·         Butir-butir kandungan hadist  :
Hadist diatas menekankan bahwa kita harus mengambil ilmu atau ajaran dari orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah).
·         Hadist 4 :
لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا
Terjemah: ”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” (Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah )
·         Butir-butir kandungan hadist  :
1. Umat manusia hekdaknya dalam kebaikan untuk mengambl ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama).
2. Dan hekdaknya jangan mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) karena hal tersebut akan menjadikan binasa.


·         Hadist 5 :



Terjemah : Dari Aisyah RA ia berkata : “saya pernah datang kepada seorang yahudi. Perempuan itu berkata: “Sesungguhnya ada siksa kubur Karena kencing”. Saya berkata : “ kamu dusta!”. Perempuan itu menjawab: “ Tidak. Sesungguhnya kulit dan kain yang terkena air kencing itumerasa tersiksa”. Rosulullah SAW pun keluar untuk sholat ketika kami saling bersikeras,lalu nabi bersabda :” Ada apa ini? . Saya pun menceritakan pada beliau masalahnya, Kemudian beliau menjawab : “ Perempuan itu benar”.(HR Ibnu Abi syaibah)[2]
Tahrij Hadist : Hadist ini termaktub dalam buku Tarbiyatul aulat termasuk hadist aziz dan hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi saibah.
·         Butir-butir kandungan hadist  :
1. Hekdaknya kita tidak memilih guru berdasarkan suku atau budaya.
2. Hekdaknya kita melihat seseorang dari segi kebenaran,perkataanya bukan dari siapa yang mengatakannya.






HURAIAN-HURAIAN ANALISIS  TENTANG HADIST :

·         Hadist 1
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa memilih guru disini sangat dianjurkan karena salah memilih guru berarti salah pula memperoleh ilmu terlebih dalam ilmu agama disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia.maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang yang ihlas,terpercaya lagi mempunyai pemahaman yang lurus, alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah.
·         Hadist 2:
 Ilmu agama akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya yaitu orang-orang yang selalu beriman kepada allah, dan selalu mengajarkan dan mencontohkan kepada anak didiknya agar selalu bersifat istiqomah, amar ma’ruf nahi mungkar dan selalu takut kepada allah dalam segala ucapan dan tindakan dan orang-orang seperti inilah yang akan meluruskan penyimpangan yang melampaui batas, ta’wil orang yang jahil dan pemalsuan orang yang bathil.
·         Hadist 3
Tuntutan untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang. Akan tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah. Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Jadi kita harus dapat teliti dalam memilih guru dan mengambil ilmu atau ajaran dari orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah).

·         Hadist 4 :
Bila kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan. Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali.. Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i. Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam kehidupan sehari-harinya. Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain, menurut anggapannya ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu.
·         Hadist 5 :
Hadist diatas menjelaskan bahwa ketika Rosulullah SAW memdengar pembicaraan perempuan yang berbicara dengan aisyah mengenai adanya siksa kubur sebagai ajaran dari nabi-nabi sebelum beliau. Beliau secara jujur membenarkan keterangan yang disampaikan oleh perempuan yahudi tersebut. Setelah Aisyah mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh perempuan yahudi tersebut benar sebagaimana yang dinyatakan oleh  Rosululllah SAW. Aisyah pun menerimanya. Dalam membenarkan apa yang disampaikan oleh perempuan yahudi itu, Rosulullah SAW semata-mata melihat sisi kebenarannya beliau tidak melihat asal-usul bangsa atau golongan perempuan tersebut. Sikap yang dilakukan oleh Rosulullah sebagaimana tersebut merupakan hal yang bersifat universal dalam pendidikan Islam.
Sebagaiman hadist diatas, Rosulullah memperbolehkan kita mengambil ucapan atau ilmu dari siapapun selama ucapan itu benar dan tidak menyalah dasr-dasr keimana yang kita anut.

















KHULASHAH DAN IHTITAM

Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan tidak suka (like and dislike)  padahal ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan,  maka perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student oriented), maka peran guru dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator.

Peran guru demikian penting dan menentukan. Ia melakukan cetak biru generasi muda. Oleh karena itu, jika guru tidak memenuhi syarat-syarat kualitas dan kuantitas yang ideal, maka akan berakibat terhadap perkembangan intelektual, emosional, sosial dan kinestetis peserta didik. Jadi kita harus dapat teliti dalam memilih guru dan mengambil ilmu atau ajaran dari orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah).





                                                                                                        





DAFTAR PUSTAKA

Az-zabidi imam.1997. Ringkasan shohih al-bukhori. Bandung : Mizan
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008                    
Muhaimin.2004.Wacana pengembangan pendidikan Islam.Surabaya: Griya pabean
Thalib, Muhammmad.2001.Seni dan sikap mendidik anak .Yogyakarta:Ma’alimul usroh






[1] Dr. Muhaimin, Wacana pengembangan pendidikan islam,(Surabaya: Griya pabean,2004) hlm. 209
[2] Muhammmad Thalib,Seni dan sikap mendidik anak (Yogyakarta,Ma’alimul usroh,2001) hlm.71

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق