PERSPEKTIF HADIST TENTANG MEMILIH GURU
MUQODDIMAH
Guru
adalah subjek paling penting dalam keberlangsungan pendidikan. Tanpa
guru, sulit dibayangkan bagaimana pendidikan dapat berjalan. Bahkan meskipun
ada teori yang mengatakan bahwa keberadaan orang/manusia sebagai guru akan
berpotensi menghambat perkembangan peserta didik, tetapi keberadaan orang
sebagai guru tetap tidak mungkin dinafikan sama sekali dari proses pendidikan.
Menurut konsep islam seorang yang dijadikan figur panutan/ulama’/guru adalah
contoh yang patut untuk diteladani dalam hal pemahaman dibidang masing-masing. [1]
Realitasnya, pendidikan tidak
bisa dilepaskan dari peran guru. Secara umum, guru bisa siapa saja. Justru guru
yang pertama kali dijumpai oleh setiap orang adalah orang-tuanya sendiri. Baru
kemudian, guru pada pendidikan formal. Di tengah masyarakat, pimpinan
masyarakat juga dapat berfungsi sebagai pendidik untuk masyarakatnya. Dalam
pengertian yang luas seperti ini, maka siapa saja yang melakukan pekerjaan
berupa proses transfer pengetahuan dan internalisasi nilai kepada peserta
didik, maka dapat disebut sebagai guru.
Secara institusional, guru
memegang peranan yang cukup penting, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan
kurikulum. Guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi
kelasnya. Dengan demikian, guru juga berperan melakukan evaluasi dan
penyempurnaan kurikulum
Dalam
kehidupan sosial yang lebih luas, yang berperan sebagai pendidik adalah terutama
para ‘ulama dan ahl al-zikr. Namun dalam konteks pendidikan yang lebih luas, maka
pada diri setiap orang sesungguhnya melekat kewajiban untuk mendidik. Hanya
saja ulama dan ahl
zikir secara khusus diberi amanah
sebagai pendidik.
Nabi
Saw bersabda:
العلماء
ورثة الانبياء
Ulama
adalah pewaris para Nabi.
Berdasarkan penekanan khusus
kepada para ulama dan ahl al-zikr tersebut, maka tidak mengherankan jika para pakar
pendidikan Islam menetapkan syarat-syarat yang cukup ketat sebagai kriteria
yang seyogianya dimiliki oleh pendidik.
Kriteria dimaksud seperti
istiqamah, sabar, berilmu, cerdas dan
terampil, penyantun, dan berbagai sifat terpuji lainnya yang menunjukkan
kemuliaan dan beratnya beban tugas seorang pendidik.
Guru juga sebagai
model panutan uswatun hasanah, yaitu Guru sebagaimana orang tua sudah
seharusnya bisa menjadi panutan bagi anak-anak. Perilaku keseharian bisa
menjadi tauladan bagi anak-anak didik. Guru bisa menjadi figur sentral dalam
pembentukan kepribadian anak.
Saat ini banyak
anak kehilangan figur sentral. Banyak anak yang lebih cenderung untuk
menjadikan tontonan sebagai model. Bisa saja hal ini terjadi karena orang tua
yang mestinya bisa sebagai model jarang ditemui karena sibuk. Sehingga
anak-anak mencari figur lainnya. Misalnya saja model itu bisa ditemukan pada
diri pembantu, pada tokoh sinetron yang dikagumi, atau mungkin sahabatnya yang
dijadikan figur.
Di sinilah guru
dituntut untuk menjadi model. Berikan yang terbaik buat anak-anak kita. Banyak
anak-anak yang sukses karena melihat figur gurunya yang bersahaja, tegas, dan
berwibawa.
Anak-anak
adalah mata rantai pewaris perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran.
Anak-anak adalah pengawal negeri tercinta. Dialah yang akan menjaga dan
melestarikan nilai-nilai budaya yang telah dibangun dengan susah payah.
Dalam proses
transfering values and knowladge guru senantiasa mengajar dan berkomunikasi.
Guru tidak bisa meninggalkan nilai-nilai dalam mendidik putra-putrinya. Sekali
lagi, sebagai agen perubahan, guru bukan hanya transfer knowledge, tetapi
transfer nilai-nilai. Hal-hal yang tidak baik segera diganti dengan nilai-nilai
yang baik.
Berbagai teori
telah menyebutkan bahwa apa yang sudah diterima anak di masa tanam akan masuk
dalam memori jangka panjang atau tersimpan pada alam bawah sadar. Namun
demikian, kita tidak boleh berputus asa, tidak boleh hawatir untuk melakukan
perubahan. Masa model bisa untuk memperbaiki kondisi yang pernah terjadi di
masa tanam.
Di sinilah peran guru sebagai agen perubahan.
Guru berperan sebagi model yang bisa diteladani oleh anak-anak. Banyak model
yang dilihat oleh anak-anak di luar sekolah. Namun di sekolahlah yang
diharapkan model itu bisa ditemukan oleh anak. Sekolah setidaknya mampu menjadi
filter terhadap pengaruh yang terjadi di luar rumah
Selain itu, Guru juga sebagai tokoh dan anggota
masyarakat, sama halnya
dengan poin sebelumnya, dimana pada poin ini seorang pendidik atau guru
juga berperan sebagai tokoh masyarakat . Disini seorang guru dituntut untuk
menjadi seorang panutan tidak hanya di lingkungan formal seperti sekolah tapi
juga dalam arti yang lebih luas, dimana seorang pendidik harus memberikan sikap
teladan yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain.
Dengan melihat begitu besarnya fungsi dan peran
guru dalam kehidupan maka kita tidak bisa asal mengambil guru untuk dituntut
ilmunya tetapi bagaimana kita mencari orang yang tepat untuk kita ikuti dan terima
ilmunya, Sehingga kita tidak salah jalan nantinya.
HADIST-HADIST
TENTANG MEMILIH GURU
·
Hadist 1 :
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
Terjemah :”Sesungguhnya
ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama
kalian” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7
Maktabah Sahab).
v Butir-butir kandungan hadist :
Dari
perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar
kita hekdaknya dalam mengambil ilmu dapat memilih dari siapa memperolehnya
karena ilmu adalah “agama” jadi kita
harus mengambil ilmu dari orang yang
alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah.
·
Hadist 2
يحمل هذا العلم
من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال
فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه
Terjemah :”Ilmu (agama)
ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan
meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang
jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh
orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu. (Al-Jaami’
li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 –
shahih).
·
Butir-butir
kandungan hadist :
1. Ilmu agama
akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dan mereka meluruskan penyimpangan yang
melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil.
2. Ilmu hanya
pantas dan layak dimiliki oleh orang-orang yang memiliki sifat diatas. Oleh
karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini
tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa ”seleksi”.
·
Hadist 3 :
يا بن عمر دينك
دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين
مالوا
Terjemah :
”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka
perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang
istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng
(dari sunnah)” (Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh
Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa
Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab).
·
Butir-butir
kandungan hadist :
Hadist
diatas menekankan bahwa kita harus mengambil ilmu atau ajaran dari orang yang
istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng
(dari sunnah).
·
Hadist 4 :
لا يزال الناس
بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا
Terjemah: ”Senantiasa
umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir
(yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang
bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka
akan binasa” (Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr
Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah )
·
Butir-butir
kandungan hadist :
1. Umat manusia
hekdaknya dalam kebaikan untuk mengambl ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli
ilmu/ulama).
2. Dan hekdaknya
jangan mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah)
karena hal tersebut akan menjadikan binasa.
·
Hadist 5 :
Terjemah : Dari Aisyah
RA ia berkata : “saya pernah datang kepada seorang yahudi. Perempuan itu
berkata: “Sesungguhnya ada siksa kubur Karena kencing”. Saya berkata : “ kamu
dusta!”. Perempuan itu menjawab: “ Tidak. Sesungguhnya kulit dan kain yang
terkena air kencing itumerasa tersiksa”. Rosulullah SAW pun keluar untuk sholat
ketika kami saling bersikeras,lalu nabi bersabda :” Ada apa ini? . Saya pun
menceritakan pada beliau masalahnya, Kemudian beliau menjawab : “ Perempuan itu
benar”.(HR Ibnu Abi syaibah)[2]
Tahrij Hadist : Hadist ini
termaktub dalam buku Tarbiyatul aulat termasuk hadist aziz dan hadist ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abi saibah.
·
Butir-butir
kandungan hadist :
1. Hekdaknya
kita tidak memilih guru berdasarkan suku atau budaya.
2. Hekdaknya
kita melihat seseorang dari segi kebenaran,perkataanya bukan dari siapa yang
mengatakannya.
HURAIAN-HURAIAN ANALISIS
TENTANG HADIST :
·
Hadist 1
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa
memilih guru disini sangat dianjurkan karena salah memilih guru berarti salah
pula memperoleh ilmu terlebih dalam ilmu agama disebabkan ilmu agama adalah
ilmu yang sangat mulia.maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang
yang ihlas,terpercaya lagi mempunyai pemahaman yang lurus, alim, ’adil
(terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah.
·
Hadist 2:
Ilmu agama akan dibawa oleh orang-orang yang
terpercaya yaitu orang-orang yang selalu beriman kepada allah, dan selalu
mengajarkan dan mencontohkan kepada anak didiknya agar selalu bersifat
istiqomah, amar ma’ruf nahi mungkar dan selalu takut kepada allah dalam segala
ucapan dan tindakan dan orang-orang seperti inilah yang akan meluruskan
penyimpangan yang melampaui batas, ta’wil orang yang jahil dan pemalsuan orang
yang bathil.
·
Hadist 3
Tuntutan
untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan
keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat,
tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para
ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang. Akan tetapi, di jaman
sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang
yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah. Selain
kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias
dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah
ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Jadi kita harus
dapat teliti dalam memilih guru dan mengambil ilmu atau ajaran dari orang yang
istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng
(dari sunnah).
·
Hadist 4 :
Bila
kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa
mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang.
Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir
shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat
penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan. Di
jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama
kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat,
namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak
melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali.. Ada lagi yang lain yang
membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i. Semangat
dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap
diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di
hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Kita tidak mengatakan
bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari
segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip
aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain
itu, kita juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam
menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam
kehidupan sehari-harinya. Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada
sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu
yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan
sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya
karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain, menurut anggapannya ulama/ustadz/pengajar
tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham
(aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar.
Sikap ini merupakan buah dari sikap ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab,
kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu.
·
Hadist 5 :
Hadist
diatas menjelaskan bahwa ketika Rosulullah SAW memdengar pembicaraan perempuan
yang berbicara dengan aisyah mengenai adanya siksa kubur sebagai ajaran dari
nabi-nabi sebelum beliau. Beliau secara jujur membenarkan keterangan yang
disampaikan oleh perempuan yahudi tersebut. Setelah Aisyah mengetahui bahwa apa
yang dikatakan oleh perempuan yahudi tersebut benar sebagaimana yang dinyatakan
oleh Rosululllah SAW. Aisyah pun menerimanya.
Dalam membenarkan apa yang disampaikan oleh perempuan yahudi itu, Rosulullah
SAW semata-mata melihat sisi kebenarannya beliau tidak melihat asal-usul bangsa
atau golongan perempuan tersebut. Sikap yang dilakukan oleh Rosulullah
sebagaimana tersebut merupakan hal yang bersifat universal dalam pendidikan
Islam.
Sebagaiman
hadist diatas, Rosulullah memperbolehkan kita mengambil ucapan atau ilmu dari
siapapun selama ucapan itu benar dan tidak menyalah dasr-dasr keimana yang kita
anut.
KHULASHAH DAN IHTITAM
Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu
agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i,
bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama.
Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan
tidak suka (like and dislike) padahal
ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan,
maka perbuatan ini merupakan sikap
kesombongan yang menghancurkan
Sejalan dengan pergeseran
makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher
oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student oriented),
maka peran guru dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah
satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator.
Peran guru demikian penting
dan menentukan. Ia melakukan cetak biru generasi muda. Oleh karena itu, jika
guru tidak memenuhi syarat-syarat kualitas dan kuantitas yang ideal, maka akan
berakibat terhadap perkembangan intelektual, emosional, sosial dan kinestetis
peserta didik. Jadi kita harus dapat teliti dalam memilih guru
dan mengambil ilmu atau ajaran dari orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan
jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah).
DAFTAR PUSTAKA
Az-zabidi
imam.1997. Ringkasan shohih al-bukhori. Bandung : Mizan
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008
Muhaimin.2004.Wacana
pengembangan pendidikan Islam.Surabaya: Griya pabean
Thalib, Muhammmad.2001.Seni dan sikap mendidik anak
.Yogyakarta:Ma’alimul usroh
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق