BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Aswaja sebagai sebuah aliran yang pada mulanya merupakan suatu kelompok
kecil yang pada masa berdirinya dirintis oleh abu hasan al asy’ari, sejaln
dengan perkembangan jaman menjadi kel;ompok yang besar dan bahklan kelompok terbesar di seluruh dunia.
Pergarseran dunia membawa aswaja pada perubahan tang menuntut aswaja bukan
hanya menjadi sebuah madzhab yang menjadi doktrin kepada para pemeluknya, akan
tetapi berkembang menjadi sebuah pandangan hidup atau dikenal dengan istilah
manhaj al fikr. Dengan perubahan dari waktu ke waktu kontribusi aswaja menjadi
sangat mempengaruhi para pemeluknya dalam beraktifitas dalam keseharian baik
dalm aktifitas ekonomi, sosial politik, maupun kebudayaan secara keselyuruhan
kehidupan.
Dari makalah yang akan kami presentasikan kami berharap mampu
memberikan kontribusi yang positif akan gambaran aswaja dimasa yang akan datang
yang lebih dapat diaplikasiskan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara, aswaja sebagai manhaj al fikr harapan kami dapat memberikan warna
pada kehidupan didunia yang dapat menjadi stabilisator, sekaligus menjadi
dinamisator dan motifator yang nyata.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaiaman implementasi
ajaran aswaja dalam bidang politik ?
BAB II
IMPLEMENTASI AJARAN ASWAJA DALAM BIDANG POLITIK
Berdirinya
suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam).
Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka
serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini
bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban
fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga sebagaimana mengurus jenazah jika
sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah
termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh
Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal
ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya
seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.
Aswaja
tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan
menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun
bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang
harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara
tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang
sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun
suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak
penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah
dibenarkan dalam Aswaja.
·
Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:
a. Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS
asy-Syura 42: 36-39:
فَمَا أُوتِيتُم
مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ
وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ
يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ
يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ
إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
Terjemah :”Maka sesuatu
apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang
ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka
marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami
berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan
dengan lalim mereka membela diri”.
Menurut ayat di atas,
syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah),
tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba’ir), memberi ma’af
setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan
lain sebagainya. Seakan-akan musyawarah merupakan suatu bagian
integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-’Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan
dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin
pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini
didasarkan kepada QS An-Nisa’ 4:58
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ
أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ
كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
Terjemah :“Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha
mendengar lagi maha melihat”.
c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan
bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak-hak tersebut dalam
syari’at dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang
menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip
tersebut adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa
(kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul ‘lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul ‘lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak
Asasi Manusia (HAM).
d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan
yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem
kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama
tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu
berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati
kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem
pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara
sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil society) sebagai amanat dari
Allah.
Harus kita akui, bahwa
istilah “demokrasi” tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana
hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa.
Namun, harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak
menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara
menurut Aswaja.
Dalam era globalisasi di
mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami
perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah,
saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi
“perkampungan dunia”, maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah
(harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat
ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara
banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo
dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah
bukanlah merupakan satu-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah
kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam
haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat
Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini
mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran tersebut
pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan
umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak
bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath’iy). Sebagai contoh,
dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima
seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.
·
METODOLOGI
PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA
Jika kita
mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat
(islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi
pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth),
berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan
toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari
sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau
ekstrim kiri.
Inilah yang menjadi esensi
identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan
dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan,
pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
a. Tawasuth (Moderat)
Tawassuth ialah
sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam
konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi
semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu
berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap
ini didasarkan pada firman Allah:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Terjemah : “Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS.
Albaqarah: 143)
b. Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun ialah
sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan
dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan
sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan,
prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf)
yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap
ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran
agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:
لَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ
وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Terjemah : “Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan”. (QS.
Alhadid: 25)
c. Ta'âdul (Netral
dan Adil)
Ta'âdul ialah
sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan
segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul).
Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing.
Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya
berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis
dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul(keunggulan),
maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan
antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya
yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini
berdasrkan firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى
Terjemah :”Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS.
Alma'idah: 9)
d. Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai
terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran,
keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain
sebagainya.
Toleransi dalam konteks agama dan
keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran
keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti
mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah
dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq
dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya
dengan toleransi agama, Allah swt. berfirman:
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS.
Ali Imran: 85)
Toleransi dalam konteks
tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi
dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan
ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan
syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan
nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh (toleransi),
berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama
umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah
di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari
sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep
persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah
islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah(persaudaraan
kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah(persaudaraan
kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan
di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah swt.:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. (QS.
Alhujurat; 13)
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)
·
ESENSI
KHILAFAH DALAM PANDANGAN ASWAJA
Dalam
pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara
(khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk
usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam
kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar,
yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena
kedudukannya yang dipandang sebagaiwasîlah untuk maqâshid berupa
tugas amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak
harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu.
Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas
dakwah islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek
keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya.
Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan
—sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.
Pendirian
Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks
keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagaiwasîlah.
Ada cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari
sekedar membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf
nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini
bisa dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Pandangan seperti inilah yang
mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi dan bercita-cita mendirikan
Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena khilafah bukanlah satu-satunya
instrumen yang bisa ditempuh untuk menegakkan syariat dalam kehidupan umat.
Bahkan selama ini, setiap usaha merubah bentuk dan dasar hukum negara,
nyata-nyata lebih banyak memunculkan ekses negatif yang justru merugikan kaum
Muslimin sendiri. Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan
semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan semangat
perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan kata lain,
perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada pembentukan sebuah wadah
syariat secara formal, berupa bentuk khilafah atau sistem negara Islam,
melainkan lebih dikonsentrasikan pada perjuangan aplikasi syariat dalam
perilaku umat sehingga menjadi ruh dan substansi perilaku kehidupan masyarakat.
Perilaku umat yang berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik
dibanding sekedar formalitas bentuk dan sistem negara islami.
Hal ini
logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam Islam,
sebenarnya yang layak dilabeli dengan 'islamiyah' (baca: demokratis), hanyalah
khilafah era Khulafa' Arrasyidin saja. Khilafah
pasca Khulafa' Arrasyidin, secara umum telah kehilangan label
ke-islamiyah-annya, bahkan identik dengan sistem kekaisaran Romawi dan Persi.
Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi
sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era Khulafa'
Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi
manapun.
Disamping
itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh sebagian sekte
dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, faktanya tidak murni
hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja, melainkan juga mengusung
paham dan idiologi aliran mereka, seperti idiologi Wahabi, Syi'ah atau lainnya.
Mereka tidak akan mendirikan Khilafah Islamiyah kecuali paham
dan idiologi mereka juga menjadi paham dan idiologi resmi pemerintah. Artinya,
ketika khilafah berhasil didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok
ASWAJA yang bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman
Pemerintahan Arab Saudi dengan paham Wahhabinya.
Inilah yang menjadi alasan
fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap gerakan dan sekte yang
mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan merongrong NKRI yang beridiolgi
Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila pertama yang mencerminkan tauhid Islam
telah menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan
rakyat bangsa Indonesia yang plural dalam ras, suku dan agama, serta
mempertimbangkan resiko ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan:
bahwa NKRI dan Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya
membentuk negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti
khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA dan
menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari
sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindari kekacauan lebih
diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan
Apabila sejauh ini dikenal tiga
model hubungan agama-negara, yaitu hubungan intergasi (agama dan negara adalah
satu kesatuan); hubungan sekuler (pemisahan peran agama dalam pemerintahan);
dan hubungan simbiosis (agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan
mengisi secara timbal-balik), maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan
ASWAJA dalam memandang hubungan agama dan negara. Agama tidak harus diformalkan
sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama juga tidak boleh
diceraikan dari intervensi peran politik.
Pandangan politik ASWAJA seperti
ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan surat Alma'idah ayat 44, 45 dan
47, yang memvonis kafir, dhalim dan fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan
hukum-hukum yang diturunkan Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga
ayat tersebut meski berlaku bagi umat Islam atauahli alkitab (non
Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus:“kekafiran itu
tidak mengeluarkannya dari agama“. Dan menurut Atha'; “kekafiran
di bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah
kefasikan". Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa
Muslim yang tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah
menjadi dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang
diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun
tidak menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”.
Dari sini bisa dipahami bahwa,
apabila tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran
ketidaksanggupan, atau karena justeru akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid),
seperti ancaman disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis
kafir, dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق